Masih segar di ingatan kita ketika beberapa minggu lalu Tim
Nasional Indonesia U-19 berhasil menghapus dahaga prestasi sepakbola nasional
dengan meraih gelar juara AFF ASEAN Cup U-19 2013. Gelar ini merupakan yang
pertama sejak terakhir kali Indonesia meraih medali emas pada ajang Sea Games
1991. 22 tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi sebuah tim untuk berpuasa
gelar. Nyatanya semenjak saat itu, persepakbolaan kita terus mengalami
kemunduran dari tahun ke tahun. Apakah
bisa disebut Negara kita lemah dalam bidang sepakbola? Penulis sangat tidak
setuju dengan anggapan ini. Karena patutnya kita berbangga memiliki banyak
pemain yang sebenarnya berkemampuan kelas dunia.
Sebut saja nama-nama kawakan seperti Ricky Jacobi, Rocky
Putiray, Jack Komboy yang bisa disebut legenda persepakbolaan nasional. Di masa
kini tidaklah asing mendengar Bambang Pamungkas, Boas Salossa, Firman Utina,
atau Andik Vermansyah menampilkan permainan ciamik di atas lapangan. Dari segi
bibit muda pun Indonesia tidak kalah mentereng. Timnas Indonesia U-13 pernah
meraih Juara pertama pada kejuaraan Danone Nation Cup 2005 yang kala itu
menggilas Itali U-13 di final dengan skor mutlak 4-1. Lantas apa yang menjadi
permasalahan timnas kita? Dengan segudang talenta muda maupun senior yang kita
miliki harusnya mudah bagi Indonesia menorehkan segudang prestasi dalam kurun
waktu tersebut. Namun alih-alih meraih prestasi, justru para penggila sepakbola
tanah air dipaksa menahan rasa rindu juara selama 22 tahun. Bahkan timnas Negara rival abadi kita,
Malaysia telah selangkah lebih maju setelah berhasil menghempaskan Indonesia
tahun 2010 lalu di turnamen AFF Asean
Cup untuk pertama kalinya. Yang lebih menyakitkan, Malaysia mengangkat piala di
hadapan puluhan ribu penonton yang memadati stadion kebanggan bangsa, Gelora
Bung Karno Senayan, Jakarta. dan begitupun setahun setelahnya di tempat yang
sama, Sea Games 2011 lagi-lagi Malaysia membungkam para fans fanatik tanah air
setelah membuat Indonesia bertekuk lutut lewat drama adu pinalti.
Penulis beranggapan terdapat masalah pada system pembinaan
tim nasional kita selama ini. Tidak adanya keselarasaan dalam suatu organisasi
induk sepakbola nasional menjadi masalah krusial yang fatal bila dilalaikan. Ambil
contoh dari timnas U-13 yang penulis sebutkan sebelumnya, para bibit muda
berprestasi tersebut tidak mendapat kepastian untuk melanjutkan karir sebagai
pemain professional. PSSI terkesan tidak menjaga asset-aset berharga ini dan
malah menelantarkan mereka begitu saja. Hasilnya bisa ditebak. Ketika memasuki
jenjang usia lebih tinggi, kemampuan mereka tidak berkembang. Tidak lagi
berprestasi dan justru harus bermain sebagai pemain amatir di klub amatir pula.
Meskipun ada beberapa dari mereka yang berhasil memulai karir professional,
tetap saja tim yang pernah menjadi juara dunia tersebut telah tiada.
Pembentukan timnas yang terkesan instant beberapa tahun terkahir bukanlah
solusi terbaik untuk memperbaiki apa yang telah rusak pada tubuh tim nasional
kita.
Adalah seorang Indra Sjafri, pelatih yang sukses mengantarkan
timnas U-19 juara pada turnamen level
Asia Tenggara memberikan sebuah solusi lewat tangan dinginnya dalam bidang
kepelatihan. Tidak berhenti sampai di situ, ia bahkan mengantarkan Indonesia U-19
ke putaran final Piala Asia 2014 setelah pada hari sabtu kemarin mengalahkan
raksasa Asia, Korea Selatan. Mengagumkan
memang di bawah asuhannya Indonesia berhasil meraih sejumlah prestasi meskipun
baru pada level junior. Tapi yang harus kita ingat adalah para junior ini
merupakan sebuah pondasi, sebuah awal, sebuah bahan mentah yang nantinya
diharapkan akan terus berkembang dan semakin matang ketika naik ke level
senior, ekspektasi dari permainan mereka akan jauh lebih hebat dari pada
sekarang. Indra berujar bahwa dari awal tujuan terbesarnya menahkodai timnas
U-19 adalah Piala dunia U-20 di Selandia Baru 2015 mendatang.
Penulis menilai pelatih Indra Sjafri memiliki sebuah konsep
yang jelas dalam kepelatihannya. Ini merupakan tahun ketiga ia menangani timnas
U-19 yang artinya ia telah melatih para anggota tim U-19 dari mereka masih
berada di tim U-16. Maka tidaklah heran bila lahir sebuah ikatan kuat diantara
anggota tim. Sebuah chemistry diantara pemain yang berimbas pada kolektivitas
tim kala beraksi di atas rumput hijau. Anti membangun timnas dengan cara
instant, Mendidik para pemain dalam jangka waktu panjang, memiliki
program-program pelatihan khusus, dan juga menjaga para pemain dari
kegiatan-kegiatan komersial yang tidak ada kaitannya dari pelatnas merupakan
beberapa cara yang diterapkan pelatih Indra guna menjaga anak asuhnya tetap
focus pada penampilan terbaik mereka.
Kabarnya pelatih Indra pun sedang menyusun program agar Evan
Dimas dkk bisa beruji coba dengan tim-tim dari Negara Eropa. Diharapkan dengan
lawan yang lebih tangguh bisa meningkatkan kualitas tim pada ajang Piala Asia
nanti. Kini kita hanya bisa berdo’a agar para petinggi organisasi, media massa,
dan pihak manapun tidak memanipulasi timnas U19 demi kepentingan pribadi semata
karena inilah yang telah dinanti pecinta sepakbola tanah air. Indonesia bisa,
Indonesia Jaya.
“Saya tidak akan menerima tawaran apapun. Saya tidak akan
menjual Timnas demi kepentingan komersial beberapa pihak” - Indra Sjafri, 50, Pelatih Indonesia U-19